Friday, July 15, 2016

Para Ayah Jangan Lewatkan Masa Ini!


Sebagaimana teladan kisah Lukmanul Hakim, ayah merupakan bagian penting dalam pendidikan dan pembentukan karakter anak. Lukmanul Hakim rahimahullah mengajarkan anak beberapa hal berikut:

Pertama, persoalan aqidah. Sebagaimana firman Allah,” Wahai anak ku jangan sekali-kali engkau sekutukan Allah” (QS: Al-Lukman:13).
Kedua, rasa hormat kepada orangtua. Sebagai mana firman Allah;
وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
” Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapakya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun, bersyukurlah kepada ku dan ke dua ibu bapak mu, hanya kepada ku lah kembalimu.” (QS: Al-Lukman: 14).
Ketiga, pendidikan moral.
يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الْأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِي
” Wahai anakku bila ada kebaikan yang kamu kerjakan, kecil (tidak nampak oleh pandangan mata yang zahir), yang kecil itu tersembunyi dipuncak langit, di dasar bumi yang paling dalam atau di tengah-tengah batu hitam sekalipun, Allah pasti akan mengetahuinya dan pasti akan memberikan balasan yang sedail-adilnya” (QS: Al-Lukman: 16). 
Keempat, tatanan hidup si anak
يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلَاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ
Wahai anakku dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan oleh Allah” (QS: Al-Lukman: 17). 
Para ayah hendaknya tidak melewatkan usia keemasan anak (7-10 tahun) dalam menyerap nilai. Penanaman nilai pada usia tersebut ibaratnya merekam suara pada pita kaset kosong. Kadang-kadang celetukan-celetukan lugu membuat kita tersenyum.
"Ayah, bisa nggak meminta ke Malaikat Israfil supaya berdo'a pada ALLAH agar Bandung dan Jakarta tidak dihancurkan saat kiamat?"
"Ibu, nanti di akhirat mainan-mainan yang hancur saat kiamat diperbaiki kembali tidak ya?"

Jiwa yang bersih si anak sangat mudah tersentuh untuk menginginkan masuk surga ketika kita menerangkan tentang surga. Begitu takut akan siksa kubur dan siksa neraka. Begitu terdorong untuk berbuat kebaikan karena dicatat oleh Malaikat Rakib. Begitu enggan berbuat keburukan karena yakin akan dicatat oleh Malaikat Atid. Sedangkan jiwa kita yang telah berlumur dosa seakan kebal terhadap peringatan-peringatan tersebut.

Para ayah jangan lewat kan masa keemasan anak, baginya masa itu tak akan kembali terulang. Jangan sampai nilai-nilai buruk yang jauh dari nilai akidah yang masuk terlebih dahulu.

Bandung, 15 Juli 2016
@tata_nugraha

Tuesday, June 28, 2016

Menundukan Ego Anak


Anak usia 7-10 tahun dikenal sebagai masa dimana ego anak sangat tinggi. Saat anak usia tersebut cenderung bersikap 'rebellion', apapun yang diminta orang tua cenderung disikapi kata 'tidak'. Hal ini dialami sendiri oleh kami yang saat ini tengah mendidik dan membesarkan anak kami pada usia tersebut. Reaksi 'tidak' seringkali didapatkan bahkan pada saat momen penanaman nilai pada anak kami. Orang tua hendaknya bijak dalam menyikapinya tidak terjebak pada reaksi emosional atau bahkan menggunakan kekerasan verbal atau fisikal terhadap anak. Hal ini bisa berdampak negatif terhadap psikologi anak. Melalui tulisan ini kami hendak menuliskan pengalaman dalam menghadapi sikap 'rebellion' anak. Tulisan ini bisa jadi bukan berdasarkan akademis dari bidang ilmu psikologi karena latar belakang akademis kami bukan di bidang tersebut. Tulisan semata-mata berdasarkan pengalaman dan berbagai informasi yang didapat berkenaan dengan topik ini. Akan tetapi mudah-mudah tulisan ini bisa bermanfaat terutama bagi orang tua yang sama-sama tengah membesarkan anak seusia anak kami atau bisa juga bermanfaat bagi para orang tua yang sedang menyongsong anak usia 'rebellion'.

Prinsip pertama bahwa objek dalam pendidikan anak tidak bertumpu semata-mata pada anak itu sendiri. Terdapat beberapa irisan dengan objek-objek lain terutama dengan orangtua. Hal ini terkait dengan keteladanan, karena pada dasarnya karakteristik anak yang terbentuk sebagian besar adalah proses meniru kedua orangtuanya. Sebagai contoh seorang anak yang mempunyai karakter gemar membaca, kemungkinan besar orangtuanya pun juga gemar membaca. Ketika  orangtua menginginkan anaknya menjadi penghafal dan pencinta Al-Qur'an, dimulai dari orangtua yang punya sikap yang sama terhadap Al-Quran. Segala hal atau karakter yang ingin ditanamkan pada anak akan efektif jika dimulai dari orangtuanya terlebih dahulu.

Prinsip kedua bahwa suatu perubahan karakter yang diinginkan diperlukan sebuah proses yang membutuhkan tahapan-tahapan. Proses yang dilalui bersifat natural membutuhkan waktu pembiasaan. Minimal untuk membiasakan sesuatu kebiasaan diperlukan waktu selama 21 hari berturut-turut. Ketika kami ingin membiasakan untuk kebiasaan tertib bangun tidur di pagi hari, anak terus menerus diingatkan dalam masa pembiasaan. Pembahasaan ke anak juga harus simpel dan dimengerti anak. Kami mengunakan istilah yang dikenalkan Kiki Barkiah dalam buku 5 Guru Kecilku, standar pagi. Setiap hari anak kami diingatkan, "Ayo segera lakukan standar pagi". Standar pagi bisa didefinisikan sendiri oleh orang tua. Kami definisikan standar pagi: sikat gigi, wudlu kemudian shalat Shubuh. Alhamdulillah setelah melewati pembiasaan, standar pagi otomatis dilakukan setelah bangun di pagi hari. Yang kami sedang usahakan sekarang untuk tertib sebelum tidur yakni standar malam: cuci kaki, sikat gigi, wudlu dan shalat Isya. Kesalahan utama karena proses pembiasaan tidak terlalu disiplin di mana ada hari-hari yang terlewat sehingga standar malam tidak dilakukan.

Prinsip ketiga adalah memasukan anak ke siklus kehidupan orang tuanya. Sebagai contoh kasus ketika kami hendak membiasakan shalat 5 waktu pada anak. Selama proses pembiasaan anak diajak bersama masuk ke siklus orang tua. Setiap waktu shalat anak diajak shalat berjamaah atau diajak ke mesjid. Hal itu dilakukan terus menerus tidak ada yang terlewat selama masa pembiasaan. Selain membentuk karakter anak juga sekaligus meningkatkan kedisiplinan orangtuanya.

Sebagai kesimpulan, ada tiga prinsip kami terapkan untuk menundukan ego anak dalam proses pembentukan karakternya. Prinsip pertama bahwa objek pembentukan karakter bukan hanya anak akan tetapi ada irisan dengan membentuk karakter orang tua yang lebih baik. Prinsip kedua proses pembentukan karakter memerlukan waktu dan tahapan-tahapan. Prinsip terakhir adalah memasukan anak kedalam siklus kehidupan orang tua, sehingga orangtua dan anak sama-sama berusaha menjadi insan yang lebih baik. Demikian tulisan ini dibuat semoga bermanfaat.

Bandung, 28 Juni 2016
@tata_nugraha